JAM-Pidum Menyetujui 10 Restorative Justice Salah Satunya Perkara KDRT  di Merauke

JAM-Pidum Menyetujui 10 Restorative Justice Salah Satunya Perkara KDRT di Merauke

PUSAT PENERANGAN HUKUM KEJAKSAAN AGUNG

Jl. Sultan Hasanuddin Nomor 1 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

 

SIARAN PERS

Nomor: PR – 890/048/K.3/Kph.3/10/2025

 

 

JAM-Pidum Menyetujui 10 Restorative Justice,

Salah Satunya Perkara KDRT

di Merauke

 

 

Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual dalam rangka menyetujui 10 (sepuluh) dari 11 (sebelas) permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) pada Selasa, 21 Oktober 2025.

Adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Bismar Ronald Simanjuntak dari Kejaksaan Negeri Merauke, yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) jo. Pasal 5 huruf a Subsidair Pasal 44 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga .

Kronologi terjadi pada Senin 16 Desember 2024 sekitar pukul 09.00 WIT di Jl. Raya Mandala, Kelurahan Muli, Distrik Merauke, Kabupaten Merauke, Tersangka Bismar Ronald Simanjuntak melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap isteri yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, yang dilakukan Tersangka kepada Saksi Fransiska Sinthia Irene Lelimarna.

Kekerasan bermula bermula ketika Saksi Fransiska Sinthia Irene Lelimarna yang merupakan istri sah dari Tersangka sebagaimana Surat Kutipan Akta Perkawinan Nomor 9101CPK1406201110168 tanggal 14 Juni 2012, meminta izin kepada Tersangka untuk menjemput dan membawa anak-anaknya pergi liburan sekolah dan tinggal sementara bersama saksi Fransiska di Kota Jayapura dikarenakan Saksi Fransiska berprofesi sebagai Anggota Kepolisian Daerah Papua.

Namun, Tersangka menolak keinginan Saksi Fransiska tersebut. Hal tersebut mengakibatkan perbedaan pendapat dan memicu emosi Tersangka, selanjutnya Tersangka yang berada di hadapan Saksi Fransiska pada jarak kurang lebih 1 (satu) meter, menggunakan tangan kanannya dengan sekuat tenaga mendorong Saksi Fransiska pada bagian dada kanan dan bahu kanan hingga Saksi Fransiska jatuh dan mengenai kursi, hal tersebut dilihat oleh Anak Saksi Angelina Simanjuntak sehingga secara spontan langsung memeluk Saksi Fransiska dari belakang sambil menangis.

Saat Saksi Fransiska kembali berdiri, Tersangka kembali mendorong Saksi Fransiska hingga Saksi Fransiska keluar dari dalam rumah dan Tersangka mengunci pintu rumah dari dalam.

Akibat dari perbuatan Tersangka, Saksi Fransiska Sinthia Irene Lelimarna mengalami luka memar akibat benda tumpul namun tidak mengganggu aktivitas sehari-hari sebagaimana dalam Surat Visum Et Repertum UPTD RSUD Merauke Nomor 353/VER/10/2024 tanggal 17 Desember 2024 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Iva Septianingsih selaku dokter pemeriksa.

Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Sulta D. Sihotang, S.H.,M.H. dan Jaksa Fasilitator Riski Wulandari, S.H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.

Dalam proses perdamaian yang dilakukan pada 10 Oktober 2025 lalu, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada Saksi Korban. Lalu Saksi Korban meminta agar proses hukum yang dijalani oleh Tersangka dihentikan tanpa adanya syarat.

Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Merauke mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Papua Hendrizal Husin, S.H., M.H.

Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Papua sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Selasa 21 Oktober 2025.

Selain itu, JAM-Pidum juga menyetujui perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif, terhadap 9 perkara lain yaitu:

  1. TersangkaI Berlin Julianto Sihombing dari Kejaksaan Negeri Rokan Hulu, yang disangka melanggar 44 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
  2. Tersangka Frani Tampi alias Frani anak dari Maxi Tampi dari Kejaksaan Negeri Kutai Timur, yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
  3. Tersangka Edi Suparman bin Wagiman dari Kejaksaan Negeri Musi Rawas, yang disangka melanggar 44 Ayat (1) jo. Pasal 5 huruf a Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
  4. Tersangka Ahmad Rifai alias Ahmad bin Rasak dari Kejaksaan Negeri Polewali Mandar, yang disangka melanggar Pasal 335 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang Pengancaman dan Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
  5. Tersangka Amril alias Ambi bin Kulla dari Kejaksaan Negeri Polewali Mandar, yang disangka melanggar Pasal 335 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang Pengancaman jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
  6. Tersangka M. Mansur bin Sahroni dari Kejaksaan Negeri Tapin, yang disangka melanggar Pasal 363 Ayat (1) ke-3 dan ke-5 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan atau Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
  7. Tersangka Sudomo alias Domo anak angkat Diono dari Kejaksaan Negeri Landak, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian atau Pasal 107 huruf d Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
  8. Tersangka Herkulanus Aris alias Aris anak dari Heronimus Heron dari Kejaksaan Negeri Sekadau, yang disangka melanggar Pasal 374 KUHP tentang Penggelapan dalam Jabatan dan/atau Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
  9. Tersangka Lira Virna alias Lira binti Eddy Idwar dari Kejaksaan Negeri Bangka Selatan, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:

  • Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
  • Tersangka belum pernah dihukum;
  • Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
  • Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
  • Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
  • Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
  • Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
  • Pertimbangan sosiologis;
  • Masyarakat merespon positif.

Sementara berkas perkara atas nama Tersangka M. Rifani alias Fani dari Kejaksaan Negeri Tapin, yang disangka melanggar Pasal 187 Ayat (1) KUHP tentang Kejahatan yang Membahayakan Kepentingan Umum, tidak dikabulkan Permohonan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Hal ini dikarenakan perbuatan atau tindak pidana yang telah dilakukan oleh Tersangka, bertentangan dengan nilai-nilai dasar sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

“Para Kepala Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkas JAM-Pidum.  

 

 

 

Jakarta, 21 Oktober 2025

KEPALA PUSAT PENERANGAN HUKUM

 

 

 

 

ANANG SUPRIATNA, S.H., M.H.

Keterangan lebih lanjut dapat menghubungi 

M. Irwan Datuiding, S.H., M.H. / Kabid Media dan Kehumasan 

Hp. 085778764196

Email: [email protected]

Bagikan tautan ini

Mendengarkan